BAB 10
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK
SEHAT
10.1
Pengertian
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani
‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata
tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai
suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu
barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002).
Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan persaingan curang bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan persaingan curang bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1.
Adanya
tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2.
Perbuatan
persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan
memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
3.
Perusahaan,
baik milik pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang
tersebut.
4.
Perbuatan
persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang
tertentu.
5.
Akibat
dari perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya
dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan pelaku.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
10.2
Asas dan Tujuan
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah sbb:
1.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, menengah, dan kecil.
3.
Mencegah
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha.
4.
Menciptakan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
10.3
Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5 Tahun 1999,kegiatan
yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini
tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian,
dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian
yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang
dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan
pemasaran barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan beberapa
kriteria sebagai berikut :
·
Pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
·
Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana maksud dalam ayat (a) apabila:
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;
·
Mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan atau jasa yang sama;
atau,
·
Satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % (lima
puluh persen) pasangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya
ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar
yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Pasal 28
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopsoni,
yaitu sebagai berikut.;
·
Pelaku
usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
·
Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) apabila satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5 tahun1999 Pasal
19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yaitu :
·
Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang bersangkutan;
·
Menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
·
Membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
·
Melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot
atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang
dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
·
Dilarang
melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
·
Dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
·
Dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan
waktu yang disyaratkan.
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat,
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi
dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
·
Satu
pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
·
Dua
atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.
6. Jabatan rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau
komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
·
Berada
dalam pasar bersangkutan yang sama.
·
Memiliki
keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
·
Secara
bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat
menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar
bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila
kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat
dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan
hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat
tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang
melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat
praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28).
Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU
Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.
10.4
Perjanjian yang Dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313
KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha
sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan
sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian
dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang
lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU
Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun
1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1
Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk
tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang
lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive
behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang
Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut
adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut, ;
1.Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
1.Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
·
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa.
·
Pelaku
usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
>75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.Penetapan Wilayah
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.
·
Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat:
·
Merugikan
atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
·
Membatasi
pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan atau jasa dari
pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya:.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya:.
·
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan
harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
·
Pelaku
usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
·
Harus
bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok,
·
Tidak
akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan Pihak luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
10.5
Hal-Hal yang Dikecualikan Dari
Undang-Undang Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun
1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
Pasal 50
Pasal 50
·
Perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·
Perjanjian yang berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
·
Perjanjian penetapan standar teknis
produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi
persaingan;
·
Perjanjian dalam rangka keagenan
yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
·
Perjanjian kerja sama penelitian
untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
·
Perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
·
Perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri;
·
Pelaku usaha yang tergolong dalam
usaha kecil;
·
Kegiatan usaha koperasi yang secara
khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
10.6
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1.
Perjanjian yang dilarang, yaitu
melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol
produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga,
diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing,
pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak
luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2.
Kegiatan yang dilarang, yaitu
melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan
pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.
3.
Posisi dominan, pelaku usaha yang
menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar,
menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1.
Konsumen tidak lagi menjadi korban
posisi produsen sebagai price taker.
2.
Keragaman produk dan harga dapat
memudahkan konsumen menentukan pilihan.
3.
Efisiensi alokasi sumber daya alam.
4.
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan
harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
5.
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi
karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6.
Menjadikan harga barang dan jasa
ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
7.
Membuka pasar sehingga kesempatan
bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8.
Menciptakan inovasi dalam
perusahaan.
10.7
Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah
satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan
hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa
saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU
Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
Pasal 48
1.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal
27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
2.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal
26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000
(lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
3.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1.
Pencabutan izin usaha; atau
2.
Larangan kepada pelaku usaha yang
telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3.
Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar