BAB
12
PENYELESAIAN
SENGKETA
12.1
Pendahuluan
Sengketa dimulai ketika satu pihak
merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb
menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
12.2
Cara-Cara
Penyelesaian Sengketa
Sengketa dapat diselesaikan melalui
cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari
proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada
kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.
1.
Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses tawar-menawar
dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang
berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2.
Mediasi
Proses penyelesaian sengketa antarpihak
yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai penasihat.
Dalam hal mediasi, mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sbb:
·
Bertindak sebagai fasilitator sehingga
terjadi pertukaran informasi
·
Menemukan dan merumuskan titik-titik
persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha
mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.
3.
Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan
keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan
melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan,
konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa
pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan
atas nama para pihak karena hal tsb diambil sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
4.
Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999,
arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi
batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
·
Salah satu pihak meninggal
·
Salah satu pihak bangkrut
·
Pembaharuan utang (novasi)
·
Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
·
Pewarisan
·
Berlakunya syarat hapusnya perikatan
pokok
·
Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb
dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tsb
·
Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1.
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase
bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk
melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai
maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2.
Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen
yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani
telah selesai.
Pemberian pendapat oleh lembaga
arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya
ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar
perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat
diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan
arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta
pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final,
dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan
kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan
arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor
30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan sbb:
·
Putusan arbitrase internasional
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan
Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
·
Putusan arbitrase internasaional
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdagangan
·
Putusan arbitrase internasional hanya
dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan
ketertiban umum
·
Putusan arbitrase internasonal dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
·
Permohonan pembatalan putusan arbitrase
harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan
negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat
diajukan permohonan banding ke MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan
banding tsb diterima oleh MA.
5.
Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan
dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara
menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para
pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun
1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan
umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara
kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara,
dan oleh sebuah MK.
6.
Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan
pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan
Negeri
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat
pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan presiden.
Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan
Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding
yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi
adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri
di daerah hukumnya.
3.
Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa
dan memutus :
·
Permohonan kasasi
·
Sengketa tentang kewenangan mengadili
·
Permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
·
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan
karena:
·
Tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang
·
Salah menerapkan atau melanggar hukum
yang berlaku
·
Lalai memenuhi syarat yg mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus permohonan
peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang
diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu
kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh
pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara
yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar